Hak angket merupakan salah satu hak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dijamin dan diberikan oleh Konstitusi yang berlaku di NKRI yaitu Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945), seharusnya cukup ditanggapi secara proporsional berbasiskan konstitusi.
Wakil Ketua MPR-RI Hidayat Nur Wahid menuturkan bahwa berdasarkan Pasal 20A ayat (2) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa, DPR dalam melaksanakan fungsinya, memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Hak angket tersebut adalah hak DPR untuk menyelidiki terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai.
“Dalam hal ini, peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah UU Pemilu, dimana asas Pemilu yang bebas dan rahasia, jujur dan adil sesuai Pasal 22E ayat (1), serta prinsip kedaulatan untuk memilih ada di tangan Rakyat sesuai Pasal 22E ayat (2) dan Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945, dinilai oleh banyak pihak telah dilanggar oleh penyelenggara Pemilu maupun ASN hingga Presiden dengan ketidaknetralan mereka.
Jadi, apabila anggota Fraksi di DPR ada yang ingin menggunakan hak angket tersebut, baik secara inisiatif maupun karena memperjuangkan aspirasi Rakyat termasuk calon Presiden atau wakil Presiden, maka tidak ada alasan konstitusional untuk menolaknya. Maka silakan saja ajukan hak angket itu, karena memang dibolehkan oleh UUD NRI 1945,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (23/2).
HNW sapaan akrabnya, menyayangkan ada beberapa pihak yang merespons wacana hak angket itu secara berlebihan, seolah-olah itu hanya gertakan politik, atau dengan mengaitkan dengan hasil quick count atau real count pemilu yang belum final.
“Ada yang mewacanakan bahwa hak angket itu hanya gertakan politik, dan diajukan oleh pihak yang kalah. Itu jelas tidak proporsional, karena hak angket adalah hak politik yang konstitusional dimiliki oleh DPR. Apalagi sampai saat ini belum ada hasil final pemilu 2024, baik pilpres maupun pileg. Sehingga secara resmi/final belum ada yang kalah apalagi yang menang.
Namun, seandainya pun didasarkan pada penghitungan sementara, hak angket ini tetap konsitusional dimiliki oleh DPR, sekalipun pengusul awalnya agar DPR membuat hak angket adalah capres yang diusung oleh parpol terbesar di DPR, pemenang pemilu legislatif, yakni PDIP. Toh nanti yang akan mengajukan tetap anggota Fraksi2 di DPR”ujarnya.
Lebih lanjut, HNW mengatakan bahwa hak angket itu sebaiknya tidak diargumentasikan kepada kalah-menang dalam pemilu 2024 yang memang hasilnya belum diumumkan oleh KPU.
Sebelumnya salah satu Calon Presiden pada Pilpres 2024 Ganjar Pranowo mengusulkan agar DPR menggunakan Hak Angket dalam mengusut kecurangan yang terjadi pada Pemilu 2024 yang berlangsung pada 14 Februari 2024 lalu. Usulan ini kemudian didukung oleh PDIP yang juga partai pengusung Capres-Cawapres nomor urut 03 Ganjar Pranowo- Mahfud MD.
Pengunaan hak angket juga sebagai wujud dari pelaksanaan fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah, tapi respons positif anggota DPR terhadap wacana dipergunakannya hak angket, juga bagian dari fungsi anggota DPR melaksanakan sumpah jabatannya yaitu memperjuangkan aspirasi Rakyat yang diwakilinya,” tukasnya.
HNW juga tidak sependapat dengan pandangan sebagian kalangan bahwa kecurangan pemilu hanya bisa diselesaikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menegaskan bahwa hak angket kecurangan pemilu tentu berbeda dengan perselisihan hasil pemilu yang disidangkan di MK, meski ada presedennya bahwa MK bisa memutus membatalkan apabila ada kecurangan Pemilu/Pilkada yang terstruktur, sistematis dan masif.
“Biarkan dua proses itu berjalan sesuai dengan porsinya. Karena keduanya berbeda sekalipun sama2 konstitusional. Hak Angket didasarkan pada Pasal 20A ayat (2) UUD NRI 1945 dan perselisihan hasil pemilu di MK didasarkan pada Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945.
Salah satunya tidak perlu digunakan untuk menafikan yang lain. Selama keduanya memenuhi syarat, seharusnya keduanya bisa dijalankan.
Yang satu (hak angket) terkait dengan pengawasan, dan yang satu lagi (MK) berkaitan dengan mekanisme hukum (penyelesaian sengketa hasil di MK). Ke duanya konstitusional dan perlu ditempuh untuk menjauhkan dari potensi chaos, memberikan kepastian dan legitimasi Pemilu beserta hasil Pemilu, selain itu juga bentuk ketaatan pada Konstitusi untuk menyelamatkan demokrasi, prinsip negara hukum dan kemajuan NKRI,” pungkasnya.