Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta menyampaikan apa yang terjadi pada dua koalisi saat ini yakni Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) dan Koalisi Perubahan dan Perbaikan (KPP) merupakan peristiwa yang lumrah terjadi di dalam dunia Politik.
Anis Matta meminta agar semua pihak tidak memandang perubahan koalisi ini seperti menonton drama cinta telenovela atau drama korea.
Pada Kanal Youtube Gelora TV dalam Program Anis Matta Menjawab Episode #12 dengan tema “Mengapa ada Perubahan Koalisi?“, Anis Matta menyampaikan “Kalau dulu kita suka nonton telenovela, kalau sekarang drakor, kau datang dan pergi sesuka hatimu. Jadi kita mesti memandang koalisi ini tidak seperti menonton drama cinta dalam telenovela atau drama korea,”
Dan jika memandang perubahan koalisi sekarang seperti drama cinta, maka ada pertemuan dan ada perpisahan.
“Sebab, jika kita memandanganya seperti drama cinta, nanti ada pertemuan, ada perpisahan, terus ada pengkhianatan. Ada yang pergi, dan ada yang ditinggalkan,” katanya.
Apabila semua orang memandang koalisi seperti drama cinta, maka akan ada penyebutan bahasa pengkhianatan, perselingkuhan, perceraian dan lain sebagainya.
Anis Matta pun sudah memprediksi hal ini sebelumnya bakal terjadi bahwa akan ada kejutan-kejutan di Pilpres di 2024, dimana salah satu sumber kejutannya adalah pembentukan format koalisi yang ada sekarang.
“Nah, sekarang kita melihat kejutan-kejutan ini terus muncul, koalisinya terus berubah-ubah. Jadi sebenarnya kalau ada yang membentuk koalisi perubahan, itu hanya cita-cita. Tapi perubahan koalisi, itu fakta dan akan terus berubah tergantung realitas politik,” katanya.
Sehingga diperlukan alat baca untuk memahami perubahan koalisi ini, yang dilakukan para pemimpin politik atau ketua umum partai politik (parpol). Partai Gelora, lanjutnya, punya kepentingan agar publik dapat memahami perubahan-perubahan yang terjadi dalam koalisi ini.
Menurut Anis Matta, ada dua pendekatan yang bisa menjadi tolok ukur dari perubahan koalisi ini, yakni pertama faktor sistem dan kedua faktor aktor, serta dilengkapi oleh faktor agama.
Faktor sistem dikarenakan Indonesia mengenal sistem multipartai, bukan dua partai. Apalagi di dalam pengusungan capres juga harus memenuhi ketentuan presidential treshold (PT) 20 persen.
“Dalam sistem kita sekarang itu, hanya ada satu partai yang bisa mencalonkan presiden seorang diri, sedangkan lainnya tidak cukup, sehingga harus koalisi. Tapi pada prinsipnya, antara parlementer dan presidensial, koalisi itu adalah keniscayaan,” jelasnya.
Perbedaannya, dalam parlementer, koalisi bertujuan untuk membentuk pemerintahan yang kuat dan bisa bubar setiap saat apabila tidak ada kesepakatan lagi.
Sedangkan dalam sistem presidensial, berkoalisi hanya bertujuan untuk menetapkan capres dan calon wakil presiden (cawapres).
“Jadi kita harus memandang, bahwa koalisi dalam sistem politik itu harus dibentuk sejak awal dan berubah-ubah terus, karena kondisinya memaksa begitu. Sistem multipartai ini memaksa kita berkoalisi, dan kenapa PKB dan NasDem berkoalisi, ya karena cukup secara sistem,” katanya.
Anis Matta berpandangan seluruh partai di parlemen saat ini, memiliki value atau nilai, karena memiliki kursi dan bisa menentukan arah koalisi, berbeda dengan Partai Gelora sebagai partai pendatang baru.
“Secara rasional proses perubahan dalam format koalisi itu hal niscaya, itu fakta. Tapi kalau tidak ada treshold, maka setiap partai politik akan punya capresnya sendiri-sendiri,” kata Ketua Umum Partai Gelora, yang mendapatkan nomor urut 7 sebagai peserta Pemilu 2024
Sedangkan faktor aktor atau pelaku berperan untuk memaksa sistem tersebut berkoalisi, meski koalisi itu suatu keniscayaan. Hal itu bisa terjadi sebelum dan sesudah Pilpres. Artinya, bahwa format koalisi itu sebenarnya adalah tabiat dari para aktor tersebut.
Hal ini dimulai dari penetapan capres hingga pembentukan pemerintahan. Pembentukan pemerintahan juga bukan untuk memenuhi keabsaan, tapi lebih pada pertimbangan politik dari si aktor atau pelaku.
Anis Matta mengungkapkan, bahwa aktor-aktor tersebut dapat memahami aturan dan memahami cara mencapai tujuan dengan baik, serta sangat rasional dalam menentukan pilihan-pilihan langkahnya.
Sehingga diharapkan agar semua orang tidak memandang kejutan-kejutan yang terjadi dari perubahan koalisi ini, sebagai peristiwa luar biasa, tapi peristiwa biasa.
Sebab, para aktor itu tersebut, sebenarnya memiliki masalah tersendiri hingga membuat kejutan-kejutan dengan motif atau spesifik interest yang berbeda-beda.
“Tapi apakah dia benar-benar ingin menjadi presiden dan wakil presiden? Boleh jadi dia punya tujuan lain yang belum terungkap, yaitu berguna untuk perlindungan hukum misalnya, paling tidak sementara, kan bisa begitu,” katanya.
Namun, motif-motif tersebut, menurut Anis Matta, tetap tidak bisa dipahami, karena cara mencapainya sangat rasional. Hingga tindakan yang rasional itu, tampak seperti tidak rasional sama halnya dengan keinginan untuk menjadi capres, cawapres ataupun menteri.
“Tetapi tindakan PKB dan NasDem itu rasional, ya cukup 20 persen seperti sistemnya. Makanya, saya respek dengan Pak Prabowo, mengatakan itulah demokrasi. Ada yang datang, ada yang pergi dan setelah dia pergi mungkin saja kembali lagi. Artinya, kita jangan baperan dalam berpolitik,” tandas Anis Matta.
Fenomena perubahan koalisi ini, sebenarnya sudah dijelaskan oleh Islam. Mengapa orang berperang dan mengapa orang bersekutu. Contoh yang paling terang adalah Piagam Madinah, yang menjdi platform persekutuan kelompok-kelompok yang berbeda yang tinggal di tanah yang sama.
“Jadi dalam negara demokrasi, kepentingan dan ideologinya bisa berbeda-beda, sehingga diperlukan persekutuan atau koalisi dalam perspektif agama. Jadi koalisi itu tidak hanya bergantung sistem, dan aktor saja, tapi juga niat aktor itu sendiri, dimana di dalam agama telah diatur. Lalu, seperti apa kesamaan ideologi dan kepentingannya, anda tentu sudah mendapatkan jawabannya sendiri. Karena koalisi perubahan itu hanya cita-cita, tapi fakta realitas politiknya adalah perubahan koalisi yang diatur aktor atau pelaku,” pungkas Anis Matta.