Badan pengawasan Pemilu (Bawaslu) mengungkapkan sejumlah titik rawan dan jenis pelanggaran yang kerap terjadi dalam pelaksanaan Pemilu, hal ini disampaikan salah satu anggota Bawaslu Puadi dalam seminar yang diselenggarakan oleh Jaringan Perspektif Network (JPN) di Jakarta, pada Kamis, 26 Oktober 2023.
Menurut Puadi yang menjabat sebagai Koordinator Divisi Data Informasi dan Penanganan Pelanggaran Bawaslu ada sembilan pelanggaran yang kerap terjadi pada penyelenggaraan Pemilu, yang pertama itu adalah letak pelanggaran dari KPU sebagai penyelanggara Pemilu, dimana saat KPU melakukan verifikasi syarat calon tidak sesuai dengan prosedur.
BACA JUGA : Profil Mahfud MD, Cawapres Ganjar pada Pilpres 2024
Selain hal tersebut pelanggaran yang memungkinkan terjadi dari penyelenggara adalah terkaitan dalam melakukan kesalahan dalam penginputan perolehan suara.
Pemalsuan dukungan pada calon perseorangan (independen) menjadi salah satu bentuk pelanggaran yang kerap terjadi pada pemilu. Pemasangan alat peraga kampanye (APK) yang tidak sesuai ketentuan serta pemanfaatan fasilitas dan anggaran pemerintah untuk kampanye juga disampaikan Puadi sebagai bentuk pelanggaran yang kerap terjadi.
“Kemudian dokumen atau keterangan palsu syarat pencalonan dan calon kampanye di tempat ibadah atau tempat pendidikan yang kini sudah ada putusan MK dengan syaratnya. Jenis pelanggaran lainnya yakni mencoblos lebih dari sekali, ASN (aparatur sipil negara) melakukan perbuatan menguntungkan kandidat, dan politik uang,” jelas dia.
BACA JUGA : PDI-Perjuangan resmi umumkan Mahfud MD sebagai Cawapres mendampingi Ganjar Pranowo
Dalam seminar yang mengusung tema “Kampanye Bermartabat, Penyelesaian Sengketa Pilpres dan Pileg dan Peran Bawaslu serta Sentra Gakkumdu dalam Mengawasi Seluruh Proses Pemilu dan Penyelesaian Sengketa” tersebut Puadi juga menjelaskan bila Bawaslu adalah organ negara yang tidak hanya memiliki posisi strategis dalam memastikan penyelenggaraan pemilu berjalan baik, tetapi juga memastikan keadilan pemilu tetap terjaga.
Dalam kewenangannya, Puadi menyatakan Bawaslu melakukan upaya pencegahan, pengawasan, penanganan pelanggaran, dan penyelesaian sengketa proses pemilu. Dirinya menyatakan, dalam alur penanganan pelanggaran pemilu berdasarkan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilu bermula dari adanya temuan oleh Bawaslu dan laporan dari masyarakat.
“Hasil pengawasan ditetapkan menjadi temuan tujuh hari sejak ditemukan, sedangkan kalau laporan disampaikan kepada Bawaslu juga tujuh hari sejak ditemukan. Untuk batasan waktu pengkajian sejak diregister sampai dengan pleno adalah 14 hari kerja yang bisa meminta klarifikasi atau meminta keterangan para pihak,” jelas mantan Anggota Bawaslu Provinsi DKI Jakarta tersebut.
Untuk pidana pemilu, Puadi melanjutkan, dilaksanakan Sentra Gakkumdu bersama polisi dan kejaksaan. Dia menyatakan terdapat 77 tindak pidana yang diatur dalam 66 Pasal berdasarkan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Dirinya merinci norma pidana, yakni tahapan pendaftaran; verifikas; dan penetapan peserta pemilu ada satu norma, tahapan pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih ada delapan norma. “Lalu tahapan pencalonan Anggota DPR; DPD; dan DPRD; serta pasangan calon ada lima norma, tahapan Kampanye terdapat 24 norma pidana, tahapan masa tenang ada dua norma pidana, tahapan pemungutan; penghitungan; dan rekapitulasi suara terdapat 34 norma pidana, tahapan penetapan hasil pemilu terdapat satu norma pidana, dan pada non tahapan ada tiga norma. Ancaman pidana terberat penjara enam tahun dan denda Rp100 miliar sesuai ketentuan Pasal 553 ayat 1 dan 2,” urai magister manajemen dari Universitas Trilogi Jakarta itu.
Akan tetapi, dalam penegakan pidana pemilu, Puadi menyatakan sejumlah kendala. Hal pertama menurutnya berasal dari norma perundang-undangan yang multi tafsir dan tidak aplikatif. “Kendala lainnya seperti batasan waktu dalam penanganan pelanggaran yang sangat singkat, pengawas pemilu tidak punya kewenangan memaksa untuk meminta keterangan seseorang dan terlapor bersembunyi atau melarikan diri. Hanya saja dalam hal ini bisa digunakan persidangan ‘in absentia’. Kendala lainnya, yaitu adanya intervensi politik,” akunya.
Dalam menjamin kepastian hukum, ungkapnya, Bawaslu memberikan kemudahan akses bagi kandidat dan masyarakat dalam menyampaikan laporan. “Kalau nanti dalam penetapan DCT (daftar calon tetap), ada bacaleg (bakal calon legislatif) tak dimasukkan dan merasa tidak puas, maka bisa menempuh jalur penyelesaian sengketa di Bawaslu,” tutupnya.
Responses (3)